Minggu, 26 Juli 2009

Bangkitnya Komunis Berjubah Islam

Bangkitnya Komunis Berjubah Islam

Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Redaksi 02 Jun 2006 - 4:10 pm

Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
ini penganut paham komunis di Indonesia, semakin berani tampil vulgar. Namun, tentu saja, mereka tidak punya nyali tampil telanjang sambil mengusung ideologi komunis, karena mereka tahu, akan segera dilibas oleh kekuatan Islam. Mereka menggunakan siasat lain, yaitu melakukan pola mimikri (menyamar) dengan mengenakan jubah Islam.

Kader-kader neo-PKI banyak yang masuk ke perguruan tinggi Islam semacam IAIN atau UIN. Dari dalam, mereka mengacak-acak Islam, melakukan pembusukan ideologi dengan dalih liberalisasi dan pembaharuan pemikiran Islam. Padahal, sesungguhnya mereka membawa misi de-Islamisasi (pendangkalan aqidah) dan pemurtadan. Yang terjebak ke dalam barisan ini, tidak saja mereka yang berstatus mahasiswa, tetapi juga dosen bahkan pimpinan PT tersebut.

Oleh karena itu, wajar saja bila dari perguruan tinggi Islam seperti itu lahir seruan untuk "bertakbir" dengan lafaz anjinghu akbar dan berbagai kesesatan lainnya seperti pernyataan 'kawasan bebas tuhan' dan 'tuhan telah mati'. Bahkan, ada dosen yang karena berpendirian bahwa Alquran (secara fisik) adalah makhluk, maka tidak apa-apa bila diinjak-injak. Lafaz Allah yang ditulisnya sendiri di atas secarik kertas, kemudian diinjak-injak adalah bukan apa-apa.

Jika pelecehan demikian dilakukan terhadap kalam Allah, apakah dosen itu juga berani menginjak-injak bendera merah putih, yang juga makhluk ciptaan makhluk, namun diposisikan sebagai lambang negara? Pasti si dosen akan dicokok aparat berwenang. Apakah dosen itu juga berani menuliskan nama presiden RI di atas secarik kertas, kemudian menginjak-injaknya di depan umum? Pasti ia tidak berani, karena selain dipecat ia juga akan dibekuk aparat dengan tuduhan subversi atau teroris.

Neo-PKI tidak saja masuk ke dalam Perguruan Tinggi Islam, bahkan sudah sejak lama mereka menyusup ke dalam ormas Islam, dengan tampil sebagai generasi muda Islam yang melawan kejumudan (kebekuan) berpikir, mengusung liberalisme, dan inklusifisme. Mereka tidak akan berani tampil dengan wajah aslinya, sehingga umat Islam sering terkecoh, dan tidak secara langsung melibasnya. Bisa karena alasan aqidah, sesama Muslim dilarang saling memusuhi. Atau, alasan politis, tidaklah etis bertengkar sesama ormas Islam. Selain berpenampilan sebagai pemikir, mereka juga masuk ke laskar-laskar ormas Islam.

Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian dari ormas Islam seperti itu, mencuat seruan dan tuntutan untuk membubarkan lembaga Islam lainnya. Ini, mengingatkan kita pada gaya PKI di zaman Soekarno dulu. Ketika itu, PKI sangat gencar mendesak Bung Karno untuk membubarkan Masyumi dan HMI yang dianggapnya tidak sejalan dengan jiwa revolusioner Bung Karno.
Aliansi dan konspirasi

Selain melakukan mimikri dengan mengenakan jubah Islam, mereka juga membangun aliansi dan konspirasi dengan tokoh atau elemen yang mengaku Islam, seperti Islam liberal, Islam moderat, maupun Islam warna-warni. Tema kebencian terhadap Islam dan umat Islam, disebarkan melalui cara penertrasi gerakan, termasuk melakukan hasutan dan adu domba di antara umat Islam.

Terhadap gerakan yang secara ideologis memiliki identitas Islam mereka beri label fundamentalis, Islam garis keras, dan yang paling baru preman berjubah. Sekalipun mereka berusaha menutupi identitas aslinya, dengan bersembunyi di balik jubah Islam, namun ciri-cirinya mudah dikenali, karena mereka tampil dengan gaya dan format lama, persis gaya PKI di masa orde lama.

Istilah preman berjubah pertamakali dipopulerkan Ahmad Syafii Maarif, dalam salah satu stasiun TV dalam rangka memperingati sewindu reformasi. Hadir dalam dialog tersebut antara lain Akbar Tanjung, Wiranto, Buyung Nasution. Ketika itu Syafii mengatakan --kalimat ini tidak terlalu persis: "Pada 2030 nanti Pancasila sebagai karya brilian Bung Karno harus sukses diamalkan, karena sekarang penentang Pancasila sudah tidak ada lagi setelah para preman berjubah kehilangan energi".

Bila istilah ini dilabelkan pada gerakan Islam yang bertujuan mengamalkan syariat Islam, tegas memberantas kemungkaran, jelas bukan ucapan manusia beradab. Sebab, para tokoh pejuang mengusir penjajah Belanda seperti Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Pangeran Hasanuddin, tampil mengenakan sorban dan jubah. Begitu pula Imam Bonjol, Syeikh Ahmad Syurkati, Teuku Umar, KH Syeikh Hasyim Asyari, mereka semua berpakaian jubah. Jangan lupa, Panglima Besar Soedirman selama masa gerilya mengenakan overcoat yang oleh pengikutnya disebut jubah. Nah, bagaimana Ahmad Syafi Maarif menilai dan memposisikan orang besar seperti itu?
Contoh kasus

Sikap biadab yang sama, ternyata diwarisi juga oleh seseorang yang mengklaim diri kelompok Aliansi Anti Kekerasan, Taufiq, dan artis Rieke Dyah Pitaloka. Dalam dialog di Metro TV dengan Fauzan Al Anshari, Taufiq secara kasar menyebut Majelis Mujahidin, Hizbuttahrir, dan Front Pembela Islam, sebagai kelompok preman berjubah. Hal ini dikemukakan terkait dengan dengan kasus Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Purwakarta, akhir Mei 2006 lalu.

Kasus Purwakarta, yang oleh Aliansi Anti Kekerasan dikatakan akibat pengusiran Gus Dur --tapi Gus Dur sendiri membantah diusir-- seharusnya dilihat secara proporsional. Bila Gus Dur bebas mengemukakan pendapat, bahwa Alquran merupakan Kitab Suci paling porno, maka aktivis Majelis Mujahidin, HTI, dan FPI yang mendebat Gus Dur dalam suatu forum debat publik, juga harus diterima sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Terlepas, apakah cara yang dilakukan aktivis Mujahidin, HTI, dan FPI tadi tidak menyenangkan sejumlah orang, itu lain perkara.

Pelecehan terhadap Alquran yang bersumber dari pernyataan Gus Dur disitus JIL, dan dipublikasikan melalui koran Duta Masyarakat, Jawa Timur, 6 April 2006, dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu yuridis dan syariat Islam. Secara yuridis, pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa menempuh jalur hukum yang berlaku. Sedangkan menurut syariat Islam, kepada Gus Dur diminta untuk bertobat, bila menolak, maka dia berhak dikenakan hukuman pidana Islam.

Dalam peristiwa di Purwakarta, beserta rentetan demonstrasi berikutnya, termasuk demonstrasi menentang RUU APP, justru harus diwaspadai, adanya ancaman gerakan komunis. Dahulu, PKI selalu melontarkan penghinaan dan pernyataan yang bernada memusushi Islam dan umat Islam. Misalnya, 'shalat itu celaka' kata mereka dengan memenggal ayat Alquran. Mereka menganggap pornografi sebagai seni, bahkan mendudukkan Alquran (kitab suci yang paling dimuliakan umat Islam) sebagai kitab suci paling porno. Ada lagi, agama dipandang tidak pantas mengatur negara, tapi negara yang mengatur agama. Orang yang menuduh umat Islam sebagai pereman berjubah adalah jelas-jelas manusia berperangai komunis.

Pola kerja PKI di zaman orde lama, memiliki ciri tertentu, antara lain menganggap orang-orang di luar kemunitasnya sebagai picik, berkepala batu, bahkan sesat. Mereka senang membuat kekacauan yang tidak jelas sasarannya, seperti menggulingkan gerbong kereta api, membakar gedung pemerintah, menyebar isu SARA, atau menculik lawan politiknya. Tujuannya, untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan horizontal.

Selain itu, bila di antara anggotanya tertangkap atau dipenjara, mereka jarang memberi pembelaan secara terus terang, bahkan membiarkannya menanggung risiko sendirian. Mereka tidak memiliki solidaritas perjuangan. Adalah tugas kita bersama untuk senantiasa waspada, dan membersihkan elemen-elemen neo-PKI yang sudah sejak lama ngendon di negeri ini

Jangan Lupakan Sejarah PKI !


Upaya-upaya menghilangkan jejak hitam komunis Indonesia sedang dilakukan. Para tokoh komunis yang sudah dibebaskan, memasang strategi pembalikan fakta. Salah satunya menghilangkan sejarah komunis dari ingatan pelajar dan mahasiswa, agar generasi muda selanjutnya tidak kenal lagi kekejaman partai terlarang ini.

Setelah sukses menyusup ke berbagai organisasi, LSM, dan parpol, kini komunis Indonesia mulai menggarap dunia pendidikan. Dengan lobi-lobi dan strategi mereka berhasil menghapus kata PKI dalam buku pelajaran Sejarah kurikulum 2004 untuk SD, SMP dan SMA. Dalam buku tersebut, nama PKI tidak dicantumkan dalam pemberontakan G 30 S 1965 dan pemberontakan Madiun 1948. Jelas ada upaya strategis untuk mengkaburkan sejarah PKI di Indonesia. Ini merupakan satu bukti bahwa ada usaha yang terus-menerus dan sistematis untuk menghidupkan kembali ideologi terlarang tersebut.

Memang, bila kita cermati, lambat-lambat masyarakat kita terutama generasi muda mulai melupakan sejarah kekejaman komunis di Indonesia. Dulu, ketika disebut bulan September, ingatan kita tertuju pada peristiwa pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965. Sebab, setiap bulan September datang, media massa dan Televisi mengangkat tema sejarah pemberontakan tersebut dengan beragam kemasan acara. Upacara peringatan dan pemutaran film PKI menjadi pengingat akan kekejaman komunis di Indonesia.

Tapi, acara-acara seperti itu kini kurang menggema dan bahkan tidak ada. Akibatnya kita pun kadang lupa sejarah komunis di Indonesia. Keadaan ini harus dihentikan, sebab bila terus berlangsung, generasi penerus tidak mengenal lagi PKI, komunisme dan kekejamannya.

Terlepas dari pro dan kontra konspirasi di balik pembunuhan jenderal pada September 1965, PKI telah terbukti melakukan tindakan kejam untuk mengkudeta negara. Pembunuhan terhadap tokoh masyarakat, ulama dan kyai telah nyata dan jelas dilakukan oleh PKI. 

Bukti-bukti kekejaman komunis tersebut tidak boleh dilupakan terutama siswa-siswa sekolah. Oleh karena itu, langkah Kejaksaan Agung yang menarik buku-buku pelajaran itu yang tertuang dalam UU No.16/2004 tentang Kejaksaan.

harus didukung. Selanjutnya pihak Mendiknas merevisi buku sejarah tersebut. \"Kita mengadakan kajian dengan tim yang terdiri atas Pusat Perbukuan Depdiknas, Kejaksaan, Kepolisian, BIN serta BAIS. Kesimpulan tim, buku itu tidak memuat sejarah sebagaimana mestinya, menghilangkan fakta-fakta sejarah yang harus diketahui oleh anak didik. Itu harus dilarang,\" kata Jaksa Agung seperti dimuat dalam antaranews.com.

Meski telah dilarang beredar, buku-buku itu masih ada yang dipegang siswa jadi bahan bacaan – meski secara resmi tidak boleh menjadi bahan ajar. Masih beredarnya buku pelajaran sejarah itu tidak boleh didiamkan. Sebab anak-anak akan termakan isu-isu pelurusan sejarah.

Isu pelurusan sejarah, memang telah dikampanyekan komunis-komunis muda. Hampir di toko-toko buku besar tersebar buku-buku \"kiri\" yang berbau komunis. Mulai dari buku pergerakan, ideologi, dan sejarah. Sehingga setelah membaca buku tersebut, pembaca digiring untuk menilai bahwa seakan mereka berada di pihak yang tertindas dan difitnah.
(Sumber: Majalah Mafahim)

http://pejuangislam.com/main.php?prm=berita&var=detail&id=70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar